Tugas UAS

Rangkuman dan Pertanyaan Penelitian SAP 2-14

No SAP Pokok Pikiran Pertanyaan Penelitian

 

2 Teori Media dan Praktik

 

 

 

Sumber Bacaan:

 

Couldry, N. (2004). Theorizing Media as Practice. Social Semiotics. 14(2) 115-132

 

Pink et al. (2016). Digital Ethnography Principle and Practice

 

 

Couldry (2004: 117) mengusulkan paradigma baru dalam studi media yang disebutknya sebagai praktik. Ini berbeda dengan pendekatan media studies yang konvensional, Couldry menyebutnya sebagai paradigma penelitian yang “melihat media bukan sebagai teks atau produksi ekonomi, tetapi pertama tama dan terutama sebagai praktik” (Couldry, 2004, 2010). Pendekatan ini memperlakukan  media sebagai seperangkat praktik yang berkaitan dengan, atau berorientasi pada media. Tujuannya untuk melakukan penelitian media yang tidak berfokus pada studi teks-teks media ataupun struktur produksi (meskipun ini penting) dan untuk mengarahkannya kembali studi tentang rangkaian praktik terbuka yang berfokus langsung atau tidak langsung pada media.

Menurut Couldry (2004: 121) dalam penelitian teori praktik dapat diterjemahkan dalam dua pertanyaa, yaitu apa yang orang lakukan dalam media dan apa yang orang katakan dengan media

 

Menurut Pink, dkk, (2016: 42) studi tentang praktik muncul melalui perhatian pada bagaimana tindakan dan habit manusia dibentuk dan dipelihara sepanjang waktu dan dengan cara itu berpengaruh terhadap dunia. Pandangan ini berpengaruh terhadap studi media dan melahirkan apa yang disebut sebagai praktik media.

 

Peneliti kajian media mengkaji terutama penggunaan media dan bagaimana khalayak media disengage dengan media dalam kehidupan sehari-hari  (Pink, Sarah, dkk, 2016: 43).

 

 

Bagaimana praktik kampanye di media sosial dengan menggunakan robot politik pada Pemilu Presiden  2019?

 

 

 

3 Teori Media, Praktik, dan Sistem Sosial

 

Bourdieu P (1977) Outline of Theory of Practice

 

Certeau, Michel de. (1984). The Practice of Everyday Lie

 

Certeu (1994: xix) menjelaskan srategi sebagai hubungan-kekuatan yang menjadi mungkin ketika kemauan subjek

dan kekuasaan (pemilik, perusahaan, kota, lembaga ilmiah) dapat diisolasi

dari “lingkungan”. Strategi mengasumsikan tempat yang dapat dibatasi sebagaimana mestinya (Propre) dan dengan demikian berfungsi sebagai dasar untuk menghasilkan hubungan dengan eksterior yang berbeda dari itu (pesaing, musuh, “klien,” “target,” atau “objek” penelitian). Politik, rasionalitas ekonomi, dan ilmiah telah dibangun di atas model strategi ini.

Strategi yang dimaksud Bourdieu di sini terkait dengan banyak hal, misalnya soal suksesi kepemimpinan, pendidikan, investasi sosial atau ekonomi, perkawinan dan lain-lain. Strategi dipergunakan ketika terjadi perbedaan (gap) antara praktek dan situasi yang dihadapi. Dalam setiap kasus, perbedaan yang ada memungkinkan kita untuk mengambil tindakan atau langkah yang berbeda-beda yang dikaitkan dengan logika praktis kita.

Konsumen dari sudut pandang de Certeau (1984) telah berubah dan mampu kreatif mengambil dan memanipulasi produk-produk yang mereka konsumsi. Lebih lanjut, konsumen sekarang telah memiliki kemampuan untuk menciptakan produksi budaya sendiri sebagai akibat dari reaksi terhadap budaya yang sebelumnya dikonsumsi. Hal ini terjadi karena keterlibatan dan kreativitas konsumen, menghasilkan makna, benda, maupun gaya hidup sebagai alternatif dari budaya (komoditas) sebagai basis awal. Konsumsi tidak menjadi akhir dari suatu proses, melainkan awal dari hal lainnya, menjadikan hal tersebut sebagai bentuk produksi baru (work of consumption).

Bagaimana praktik mengkonsumsi (strategi dan taktik pemilih dalam mengkonsumsi) kampanye di media sosial yang menggunakan robot politik pada Pilpres 2019?
4 Teori Media dan Teori Sosial

 

Couldry, N (2012) Media Society, World: Social Theory and Digital Media

 

Hesmondhalgh, D. &Toynbee, J. (Eds.). The Media and Social Theory.

 

Menurut Couldry (2012: ix) berbicara tentang hubungan media dengan masyarakat dan dunia, apakah itu eksplisit atau tidak, berarti berbicara tentang dunia sosial: jenis proses hubungan dalam ruang sosial. Couldry  menggambarkan piramida dengan empat sudut yang menggambarkan aneka pendekatan dalam melihat media: political economy of media, medium theory, media studies/textual analysis, dan socially oriented media theory (h.6) Couldry menekankan pentingnya teori media yang berorientasi sosial. Pendekatan yang berorientasi sosial pada teori media secara fundamental difokuskan pada tindakan (action). Media menyediakan titik masuk untuk memahami tindakan manusia. Titik mulainya adalah terbuka pada praktik dan mengaitkan praktik pada relasi kekuasaan secara luas.Menurut Couldry, internet telah menyebabkan digital divided, perlawanan terhadap connectivity (disconnection), serta perlawanan terhadap hegemoni bahasa Inggris dalam dunia internet.

 

 

Bagaimana praktik diskoneksi dimaknai sebagai tindakan perlawanan terhadap kampanye di media sosial yang menggunakan robot politik pada Pilpres 2019?

 

5 Teori Media dan Konsumsi

 

 

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste

 

Warde, A (2014). ‘After Taste: Culture, consumption and theory of practice’

 

Dalam Distinction Bourdieu menunjukan bahwa salah satu cara untuk membedakan diri berdasarkan kelas adalah melalui konsumsi: makanan, budaya, dan penampilan. Ketiga struktur konsumsi di atas yaitu makanan, budaya, dan penampilan mempunyai makna dalam hubungannya dengan kekuasaan. Cara memilih makan, cara mengonsumsi buku dan cara berpenampilan  menunjukan kelas sosial tertentu. Dengan demikian selera tidaklah netral.

 

Bagaimana praktik mengkonsumsi kampanye di media sosial yang menggunakan robot politik pada Pilpres 2019 menggambarkan perbedaan kelas sosial pemilih?

 

 

6 Teori Media dan Industri

 

Hesmondhalgh, D (2010). ‘Media industry studies, media production studies’, in J Curran (Ed.) Media and Society

 

Sum, N. L. &Jessop B (2013). Towards a cultural political economy: Putting culture in the place of political economy

 

Jeshop dan Ngai-Ling Sum (2013) mengatakan bahwa salah satu ciri dari cultural political  economy sebagai ilmu sosial adalah komitmen untuk mengkritik ideology dan dominasi. Bagaimana hegemoni perusahaan teknologi dan konsultan politik dalam membentuk narasi pentingnya kampanye di media sosial dengan menggunaan robot politik pada Pilpres 2019?
7

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sintesa

 

  Pertanyaan sintesa:

Bagaimana praktik kampanye di media sosial dengan menggunakan robot politik pada Pemilu Presiden (Pilpres)  2019?

 

 

Rincian Pertanyaan Penelitian:

–          Bagaimana praktik mengkonsumsi (strategi dan taktik pemilih dalam mengkonsumsi) kampanye di media sosial yang menggunakan robot politik pada Pilpres 2019?

–          Bagaimana praktik mengkonsumsi kampanye di media sosial yang menggunakan robot politik pada Pilpres 2019 menggambarkan perbedaan kelas sosial pemilih?

 

9 Teori Media dan Kajian Budaya

 

Hall, S (1997) Representation: Cultural Representation and Sygnifying Practices.

 

Morley, D (1980) The Nationwide Audience Structure Decoding

 

Hebdige, Dick (1979) Subculture: The Meaning of Style

Tulisan Hall (1997) ‘The work of Representation’ membahas secara mendalam argument teoritis tentang makna, bahasa dan representasi. Menurut Hall, representasi merupakan salah satu praktik utama dalam proses produksi budaya dan momen kunci dari apa yang disebut sebagai sirkuit budaya (h.1). Tetapi apa keterkaitan antara representasi dengan budaya? Bagi Hall konsep representasi telah menempati tempat penting dalam studi budaya.  Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna tentang, atau untuk mewakili, dunia secara bermakna, kepada orang lain. Representasi adalah bagian penting dari proses di mana makna dihasilkan dan dipertukarkan antara anggota suatu budaya. Itu memang melibatkan penggunaan bahasa, tanda dan gambar yang mewakili (h. 15).

Hall (h. 15-19) menyebut 3 teori tentang bagaimana bahasa digunakan untuk mewakili dunia, yaitu teori replektid, intensional, dan konstruksionis. Dalam pendekatan reflektif, makna dianggap terletak pada objek, orang, ide atau peristiwa dalam dunia nyata, dan fungsi bahasa seperti cermin, untuk mencerminkan makna sebenarnya seperti yang sudah adaada di dunia. Seperti yang dikatakan penyair Gertrude Stein, ‘Mawar adalah mawar, adalah mawar’. Pendekatan kedua untuk makna dalam representasi berpendapat sebaliknya. Menurutnya, pembicara, penulis, memaksakan maknanya yang unik pada dunia melalui bahasa. Kata-kata berarti apa yang penulis maksudkan. Ini adalah pendekatan yang disengaja. Kita semua, sebagai individu, memang menggunakan bahasa untuk menyampaikan atau mengomunikasikan hal-hal yang khusus atau unik bagi kita, dengan cara kita memandang dunia. Pendekatan ketiga adalah konstruktivis yang mengatakan bahwa sesuatu tidak berarti: kita membangun makna, menggunakan sistem representasional – konsep dan tanda. Konstruktivis tidak menyangkal keberadaan dunia material. Namun, bukan materialnya dunia yang menyampaikan makna: itu adalah sistem bahasa atau sistem apa pun yang kita gunakan untuk mewakili konsep kita. Aktor-aktor sosial yang menggunakan sistem konseptual budaya mereka dan linguistik dan sistem representasional lainnya untuk membangun makna, untuk membuat dunia bermakna dan untuk berkomunikasi tentang dunia itu secara bermakna kepada orang lain.

 

Bagaimana reresentasi kampanye di media sosial pada Pilpres 2019?
10 Teori Media, Interaksionisme Simbolis, dan Strukturasi

 

Gidden, A (1984) The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration

 

Blumer, H. (1962) ‘Society as Symbolic Interaction

Teori strukturasi Anthony Giddens berupaya menggabungkan agen(si) dan struktur yang sebelumnya dianggap sebagai oposisi biner. Gidden melihat isu agensi-struktur dengan cara historis, procedural dan dinamis. Karena itu menurut ststrukturasi Giddens, dasar dari masyarakat bukan pengalaman aktor individu atau agensi), juga bukan keberadaan struktur, tetapi praktik praktik sosial yang tersebut. Giddens mendefinisikan struktur sebagai kumpulan aturan dan sumber yang diorganisasikan secara berulang-ulang. Sedangkan system dipahami sebagai praktik sosial yang dilakukan secara berulang ulang. Bagaimana interaksi antar aktor dalam kampanye di jaringan sosial media pada Pilpres 2019?
11 Teori Media dan Feminisme

 

Butler, J (1999) Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity

 

Butler, J (2004) Undoing Gender

Konsep penting yang diketengahkan Butler dalam Gender Trouble adalah tentang performatifity (1990:xv). Menurut Buter sulit untuk mengatakan dengan tepat apa itu performativitas. Ia mengaku pandangannya sendiri tentang apa itu “performativitas” mungkin telah berubah dari waktu ke waktu. Menurutnya, ia  awalnya mengambil petunjuk cara membaca kinerja gender dari Jacques Derrida yang membaca Kafka “Before the Law.” Ada orang yang menunggu hukum, duduk di depan pintu hukum, mengatributkan suatu kekuatan tertentu dengan hukum yang ditunggu seseorang.  Dalam contoh pertama, kemudian, performativitas gender berputar di sekitar metalepsis ini, cara di mana antisipasi dari esensi gender menghasilkan apa yang ia posisikan sebagai di luar dirinya. Kedua, performativitas adalah bukan tindakan tunggal, tetapi pengulangan dan ritual, yang mencapai efeknya melalui naturalisasi dalam konteks tubuh, ipahami, sebagian, sebagai durasi temporal yang berkelanjutan secara budaya. Bagaimana tindakan performative kelompok Golput (kelompok diluar arus utama polarisasi) dalam kampanye di media sosial  pada Pilpres 2019?
12 Teori Media, Hiperrealitas dan Masyarakat informasi

 

Baudrillard., J (1994) Simulacra and Simulation.

 

Castells, M. (2000) The Rise of the Network Society

Baudrillard (1994) mengemukakan bahwa kita sekarang ini hidup di era simulasi yaitu zaman di mana keaslian dan dunia kultural cepat lenyap. Simulasi adalah penghilangan yang real dan yang imajiner, yang nyata dengan yang palsu. Yang real telah mati dan digantikan oleh simulasi. Pada era ini yang asli yang tiruan dan yang imajiner saling bercampur baur. Kesatuan berbagai realitas yang campur baur itu disebut sebagai simulacra. Dalam simulacra realitas tidak lagi menemukan referensi atau representasinya. Simulasi dewasa ini bukan lagi cermin atau konsep tetapi pembangkitan realitas melalui model real tanpa asal usul. Itulah yang disebut hiperealitas. Bagaimana hiperrealitas kampanye di sosial media pada Pilpres 2019?
13 Teori Media dan Modernitas

 

McGuigan, J (2006) Modernity and Postmodern Culture.

 

McLuhan, M. (2003) Understanding Media: The Extensions of Man

 

 

Menurut McLuhan (2003) teknologi yang baru tidak replace atau mendisplace teknologi sebelumnya, tetapi perkembangannya bersifat transformative di mana teknologi yang baru juga mengandung teknologi yang lama. Dalam teknologi televisi ada teks peninggalan kebudayaan cetak, ada audio peninggalan radio, dan ada visual. Semua elemen itu menyatu dalam televise. Bagaimana transformasi kampanye politik dalam Pilpres dalam situasi media Hybrid?
14 Teori Media dan Efek

 

Perse, E.M., & Lambe, J. (2001) Media effect and Society

 

Barker, M. and Petley, J (Eds.) (2001) Ill Effect: The Media/Violence Debate.

 

Dayan, D. and Katz, E (1992) Media Events: Live Broadcasting of History

Buku Ill Effect: The Media/Violence Debate mempersoalkan klain tentang effek kekerasan di media yang selama ini dianggap sangat kuat. Menurut Barker dan Petley (2001), editor buku Ill Effect, klaim tentang kemungkinan efek media tidak hanya salah, tapi juga gila. Alasannya mereka yang mengajukan klaim terus menerus itu mengajukan pertanyaan yang salah. Pertanyaan mereka memiliki status yang sama dengan yang, selama berabad-abad bersikeras bertanya apakah penyakit manusia, kematian babi, badai petir, dan kegagalan tanam adalah hasil dari sihir. Kekeliruannya adalah bahwa kita harus pertama tama memiliki sihir agar pertanyaan tersebut masuk akal.

Alasan utama kenapa pertanyaan-pertanyaan tersebut salah adalah karena tidak ada yang namanya kekerasan di media yang memiliki efek dapat merusak-atau menguntungkan. Adalah bodoh apabila bertanya apa efek dari media tanpa pada saat yang sama bertanya di mana, kapan, dan dalam konteks apa jenis kekerasan tertentu digunakan. Menurut Barker dan Petley (2001) pertanyaan palsu tersebut tidak mudah dibuang, dan klaim selanjutnya bahwa kekerasan media melakukan fungsi sosial dan politik yang penting tak berbeda dengan tuduhan sihir pada era sebelumnya.  Penelitian Schlesinger (dalam Barker dan Petley, 2001) menyimpulkan masalahnya bukan apakah penggambaran kekerasan meningkatkan kekerasan serupa, tetapi perasaan dan reaksi di antara orang orang yang secara nyata atau potensial menjadi korban kekerasan.

Bagaimana pengaruh kampanye di media sosial yang menggunakan robot politik terhadap pemilih pada Pilpres 2019?
14 Sintesa   Pertanyaan Sintesa:

“Bagaimana praktik kampanye di media sosial yang menggunakan robot politik pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019?

 

Rincian Pertanyaan:

–          Bagaimana interaksi antar aktor dalam kampanye di jaringan sosial media pada Pilpres 2019?

–          Bagaimana representasi dan hiperrealitas kampanye di sosial media pada Pilpres 2019?

–          Bagaimana praktik mengkonsumsi (strategi dan taktik pemilih dalam mengkonsumsi) kampanye di media sosial yang menggunakan robot politik pada Pilpres 2019?

 

 

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Rangkuman dan Pertanyaan Penelitian (SAP 2-13)

 

No SAP Pokok Pikiran Pertanyaan Penelitian

 

2 Teori Media dan Praktik

 

 

 

Sumber Bacaan:

 

Couldry, N. (2004). Theorizing Media as Practice. Social Semiotics. 14(2) 115-132

 

Pink et al. (2016). Digital Ethnography Principle and Practice

 

 

Couldry (2004: 117) mengusulkan paradigma baru dalam studi media yang disebutknya sebagai praktik. Ini berbeda dengan pendekatan media studies yang konvensional, Couldry menyebutnya sebagai paradigma penelitian yang “melihat media bukan sebagai teks atau produksi ekonomi, tetapi pertama tama dan terutama sebagai praktik” (Couldry, 2004, 2010). Pendekatan ini memperlakukan  media sebagai seperangkat praktik yang berkaitan dengan, atau berorientasi pada media. Tujuannya untuk melakukan penelitian media yang tidak berfokus pada studi teks-teks media ataupun struktur produksi (meskipun ini penting) dan untuk mengarahkannya kembali studi tentang rangkaian praktik terbuka yang berfokus langsung atau tidak langsung pada media.

Menurut Couldry (2004: 121) dalam penelitian teori praktik dapat diterjemahkan dalam dua pertanyaa, yaitu apa yang orang lakukan dalam media dan apa yang orang katakan dengan media

 

Menurut Pink, dkk, (2016: 42) studi tentang praktik muncul melalui perhatian pada bagaimana tindakan dan habit manusia dibentuk dan dipelihara sepanjang waktu dan dengan cara itu berpengaruh terhadap dunia. Pandangan ini berpengaruh terhadap studi media dan melahirkan apa yang disebut sebagai praktik media.

 

Peneliti kajian media mengkaji terutama penggunaan media dan bagaimana khalayak media disengage dengan media dalam kehidupan sehari-hari  (Pink, Sarah, dkk, 2016: 43).

 

 

Bagaimana para aktor  politik menggunakan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial dalam kampanye pilkada serentak 2020? Studi Analisis jaringan sosial

 

 

 

3 Teori Media, Praktik, dan Sistem Sosial

 

Bourdieu P (1977) Outline of Theory of Practice

 

Certeau, Michel de. (1984). The Practice of Everyday Lie

 

Certeu (1994: xix) menjelaskan srategi sebagai hubungan-kekuatan yang menjadi mungkin ketika kemauan subjek

dan kekuasaan (pemilik, perusahaan, kota, lembaga ilmiah) dapat diisolasi

dari “lingkungan”. Strategi mengasumsikan tempat yang dapat dibatasi sebagaimana mestinya (Propre) dan dengan demikian berfungsi sebagai dasar untuk menghasilkan hubungan dengan eksterior yang berbeda dari itu (pesaing, musuh, “klien,” “target,” atau “objek” penelitian). Politik, rasionalitas ekonomi, dan ilmiah telah dibangun di atas model strategi ini.

Strategi yang dimaksud Bourdieu di sini terkait dengan banyak hal, misalnya soal suksesi kepemimpinan, pendidikan, investasi sosial atau ekonomi, perkawinan dan lain-lain. Strategi dipergunakan ketika terjadi perbedaan (gap) antara praktek dan situasi yang dihadapi. Dalam setiap kasus, perbedaan yang ada memungkinkan kita untuk mengambil tindakan atau langkah yang berbeda-beda yang dikaitkan dengan logika praktis kita

Bagaimana strategi penempatan kapital (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) para aktor dalam pemenangan (arena) pilkada 2020 melalui penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial?

 

4 Teori Media dan Teori Sosial

 

Couldry, N (2012) Media Society, World: Social Theory and Digital Media

 

Hesmondhalgh, D. &Toynbee, J. (Eds.). The Media and Social Theory.

 

Menurut Couldry (2012: ix) berbicara tentang hubungan media dengan masyarakat dan dunia, apakah itu eksplisit atau tidak, berarti berbicara tentang dunia sosial: jenis proses hubungan dalam ruang sosial. Couldry  menggambarkan piramida dengan empat sudut yang menggambarkan aneka pendekatan dalam melihat media: political economy of media, medium theory, media studies/textual analysis, dan socially oriented media theory (h.6)

 

 

Bagaimana kepentingan bisnis dan politik mendorong pabrikasi maraknya penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi melalui sosial media dalam kampanye pilkada serentak 2020? Studi ekonomi politik robot politik

 

5 Teori Media dan Konsumsi

 

 

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste

 

Warde, A (2014). ‘After Taste: Culture, consumption and theory of practice’

 

Dalam Distinction Bourdieu menunjukan bahwa salah satu cara untuk membedakan diri berdasarkan kelas adalah melalui konsumsi: makanan, budaya, dan penampilan. Ketiga struktur konsumsi di atas yaitu makanan, budaya, dan penampilan mempunyai makna dalam hubungannya dengan kekuasan. Cara memilih makan, cara mengonsumsi buku dan cara berpenampilan  menunjukan kelas sosial tertentu. Dengan demikian selera tidaklah netral.

 

Bagaimana para pemilih berdasarkan kelas sosial  mengkonsumsi dan memaknai penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial dalam kampanye pilkada 2020?

 

 

6 Teori Media dan Industri

 

Hesmondhalgh, D (2010). ‘Media industry studies, media production studies’, in J Curran (Ed.) Media and Society

 

Sum, N. L. &Jessop B (2013). Towards a cultural political economy: Putting culture in the place of political economy

 

Jeshop dan Ngai-Ling Sum (2013) mengatakan bahwa salah satu ciri dari cultural political  economy sebagai ilmu sosial adalah komitmen untuk mengkritik ideology dan dominasi. Bagaimana dominasi perusahaan teknologi dan konsultan politik dalam membentuk narasi pentingnya penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial  dalam kampanye pilkada 2020?
7

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sintesa

 

  Pertanyaan sintesa:

Bagaimana penggunaan robot politik dalam kampanye pilkada gubernur 2020 di Indonesia?

 

Rincian Pertanyaan Penelitian:

–          Siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana mereka menggunakan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial dalam kampanye pilkada 2020?

–          Bagaimana strategi penempatan kapital (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) para aktor dalam pemenangan (arena) pilkada 2020 melalui penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial?

–          Bagaimana kepentingan bisnis dan politik mendorong pabrikasi maraknya penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi melalui sosial media dalam kampanye pilkada serentak 2020? Studi ekonomi politik robot politik

–          Bagaimana para pemilih berdasarkan kelas sosial  mengkonsumsi dan memaknai penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial dalam kampanye pilkada 2020?

–          Bagaimana dominasi perusahaan teknologi dan konsultan politik (public relations)  dalam membentuk narasi pentingnya penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial  dalam kampanye pilkada 2020?

 

8 Teori Media dan Kajian Budaya Tulisan Hall (1997) ‘The work of Representation’ membahas secara mendalam argument teoritis tentang makna, bahasa dan representasi. Menurut Hall, representasi merupakan salah satu praktik utama dalam proses produksi budaya dan momen kunci dari apa yang disebut sebagai sirkuit budaya (h.1). Tetapi apa keterkaitan antara representasi dengan budaya? Bagi Hall konsep representasi telah menempati tempat penting dalam studi budaya.  Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna tentang, atau untuk mewakili, dunia secara bermakna, kepada orang lain. Representasi adalah bagian penting dari proses di mana makna dihasilkan dan dipertukarkan antara anggota suatu budaya. Itu memang melibatkan penggunaan bahasa, tanda dan gambar yang mewakili (h. 15).

Hall (h. 15-19) menyebut 3 teori tentang bagaimana bahasa digunakan untuk mewakili dunia, yaitu teori replektid, intensional, dan konstruksionis. Dalam pendekatan reflektif, makna dianggap terletak pada objek, orang, ide atau peristiwa dalam dunia nyata, dan fungsi bahasa seperti cermin, untuk mencerminkan makna sebenarnya seperti yang sudah adaada di dunia. Seperti yang dikatakan penyair Gertrude Stein, ‘Mawar adalah mawar, adalah mawar’. Pendekatan kedua untuk makna dalam representasi berpendapat sebaliknya. Menurutnya, pembicara, penulis, memaksakan maknanya yang unik pada dunia melalui bahasa. Kata-kata berarti apa yang penulis maksudkan. Ini adalah pendekatan yang disengaja. Kita semua, sebagai individu, memang menggunakan bahasa untuk menyampaikan atau mengomunikasikan hal-hal yang khusus atau unik bagi kita, dengan cara kita memandang dunia. Pendekatan ketiga adalah konstruktivis yang mengatakan bahwa sesuatu tidak berarti: kita membangun makna, menggunakan sistem representasional – konsep dan tanda. Konstruktivis tidak menyangkal keberadaan dunia material. Namun, bukan materialnya dunia yang menyampaikan makna: itu adalah sistem bahasa atau sistem apa pun yang kita gunakan untuk mewakili konsep kita. Aktor-aktor sosial yang menggunakan sistem konseptual budaya mereka dan linguistik dan sistem representasional lainnya untuk membangun makna, untuk membuat dunia bermakna dan untuk berkomunikasi tentang dunia itu secara bermakna kepada orang lain.

 

Bagaimana reresentasi kampanye di media sosial pada Pilkada 2020?
9 Teori Media, Interaksionisme Simbolis, dan Strukturasi Teori strukturasi Anthony Giddens berupaya menggabungkan agen(si) dan struktur yang sebelumnya dianggap sebagai oposisi biner. Gidden melihat isu agensi-struktur dengan cara historis, procedural dan dinamis. Karena itu menurut ststrukturasi Giddens, dasar dari masyarakat bukan pengalaman aktor individu atau agensi), juga bukan keberadaan struktur, tetapi praktik praktik sosial yang tersebut. Giddens mendefinisikan struktur sebagai kumpulan aturan dan sumber yang diorganisasikan secara berulang-ulang. Sedangkan system dipahami sebagai praktik sosial yang dilakukan secara berulang ulang. Bagaimana interaksi antar aktor dalam jaringan kampanye pilkada 2020?
10 Teori Media dan Feminisme Konsep penting yang diketengahkan Butler dalam Gender Trouble adalah tentang performatifity (1990:xv). Menurut Buter sulit untuk mengatakan dengan tepat apa itu performativitas. Ia mengaku pandangannya sendiri tentang apa itu “performativitas” mungkin telah berubah dari waktu ke waktu. Menurutnya, ia  awalnya mengambil petunjuk cara membaca kinerja gender dari Jacques Derrida yang membaca Kafka “Before the Law.” Ada orang yang menunggu hukum, duduk di depan pintu hukum, mengatributkan suatu kekuatan tertentu dengan hukum yang ditunggu seseorang.  Dalam contoh pertama, kemudian, performativitas gender berputar di sekitar metalepsis ini, cara di mana antisipasi dari esensi gender menghasilkan apa yang ia posisikan sebagai di luar dirinya. Kedua, performativitas adalah bukan tindakan tunggal, tetapi pengulangan dan ritual, yang mencapai efeknya melalui naturalisasi dalam konteks tubuh, ipahami, sebagian, sebagai durasi temporal yang berkelanjutan secara budaya. Bagaimana tindakan performative kelompok-kelompok diluar arus utama polarisasi dalam kampanye pilkada 2020?
11 Teori Media, Hiperrealitas dan Masyarakat informasi Baudrillard (1994) mengemukakan bahwa kita sekarang ini hidup di era simulasi yaitu zaman di mana keaslian dan dunia kultural cepat lenyap. Simulasi adalah penghilangan yang real dan yang imajiner, yang nyata dengan yang palsu. Yang real telah mati dan digantikan oleh simulasi. Pada era ini yang asli yang tiruan dan yang imajiner saling bercampur baur. Kesatuan berbagai realitas yang campur baur itu disebut sebagai simulacra. Dalam simulacra realitas tidak lagi menemukan referensi atau representasinya. Simulasi dewasa ini bukan lagi cermin atau konsep tetapi pembangkitan realitas melalui model real tanpa asal usul. Itulah yang disebut hiperealitas. Bagaimana hiperrealitas politik dalam kampanye pilkada 2020?
12 Teori Media dan Modernitas Menurut McLuhan (2003) teknologi yang baru tidak replace atau mendisplace teknologi sebelumnya, tetapi perkembangannya bersifat transformative di mana teknologi yang baru juga mengandung teknologi yang lama. Dalam teknologi televisi ada teks peninggalan kebudayaan cetak, ada audio peninggalan radio, dan ada visual. Semua elemen itu menyatu dalam televise. Bagaimana transformasi kampanye politik dalam Pilkada 2020 dalam situasi media Hybrid?
13 Teori Media dan Efek Buku Ill Effect: The Media/Violence Debate mempersoalkan klain tentang effek kekerasan di media yang selama ini dianggap sangat kuat. Menurut Barker dan Petley (2001), editor buku Ill Effect, klaim tentang kemungkinan efek media tidak hanya salah, tapi juga gila. Alasannya mereka yang mengajukan klaim terus menerus itu mengajukan pertanyaan yang salah. Pertanyaan mereka memiliki status yang sama dengan yang, selama berabad-abad bersikeras bertanya apakah penyakit manusia, kematian babi, badai petir, dan kegagalan tanam adalah hasil dari sihir. Kekeliruannya adalah bahwa kita harus pertama tama memiliki sihir agar pertanyaan tersebut masuk akal.

Alasan utama kenapa pertanyaan-pertanyaan tersebut salah adalah karena tidak ada yang namanya kekerasan di media yang memiliki efek dapat merusak-atau menguntungkan. Adalah bodoh apabila bertanya apa efek dari media tanpa pada saat yang sama bertanya di mana, kapan, dan dalam konteks apa jenis kekerasan tertentu digunakan. Menurut Barker dan Petley (2001) pertanyaan palsu tersebut tidak mudah dibuang, dan klaim selanjutnya bahwa kekerasan media melakukan fungsi sosial dan politik yang penting tak berbeda dengan tuduhan sihir pada era sebelumnya.  Penelitian Schlesinger (dalam Barker dan Petley, 2001) menyimpulkan masalahnya bukan apakah penggambaran kekerasan meningkatkan kekerasan serupa, tetapi perasaan dan reaksi di antara orang orang yang secara nyata atau potensial menjadi korban kekerasan.

Bagaimana pengaruh kampanye Pilkada 2020 terhadap persepsi pemilih atas kandidat dan faktor-faktor apa yang menyebabkan pengaruh tersebut?
14 Sintesa   Pertanyaan Sintesa:

“Bagaimana jaringan kampanye politik di media sosial pada Pilkada 2020?

 

Rincian Pertanyaan:

–          Siapa saja aktor-aktor yang terlibat dan bagaimana interaksi mereka dalam jaringan kampanye di media sosial pada kampanye Pilkada 2020?

–          Bagaimana para aktor politik menggunakan robot politik untuk menyebarkan disinformasi melalui media sosial pada kampanye Pilkada 2020?

–          Bagaimana representasi kampanye di media sosial dan bagaimana hiperrealitas isi kampanye politik dalam kampanye Pilkada 2020?

–          Bagaimana pengaruh kampanye terhadap persepsi pemilih atas kandidat dalam Pilkada 2020?

Leave a comment

Filed under Uncategorized

SAP 14 Teori Media dan Efek

Buku Ill Effect: The Media/Violence Debate mempersoalkan klain tentang effek kekerasan di media yang selama ini dianggap sangat kuat. Menurut Barker dan Petley (2001), editor buku Ill Effect, klaim tentang kemungkinan efek media tidak hanya salah, tapi juga gila. Alasannya mereka yang mengajukan klaim terus menerus itu mengajukan pertanyaan yang salah. Pertanyaan mereka memiliki status yang sama dengan yang, selama berabad-abad bersikeras bertanya apakah penyakit manusia, kematian babi, badai petir, dan kegagalan tanam adalah hasil dari sihir. Kekeliruannya adalah bahwa kita harus pertama tama memiliki sihir agar pertanyaan tersebut masuk akal.

Alasan utama kenapa pertanyaan-pertanyaan tersebut salah adalah karena tidak ada yang namanya kekerasan di media yang memiliki efek dapat merusak-atau menguntungkan. Adalah bodoh apabila bertanya apa efek dari media tanpa pada saat yang sama bertanya di mana, kapan, dan dalam konteks apa jenis kekerasan tertentu digunakan. Menurut Barker dan Petley (2001) pertanyaan palsu tersebut tidak mudah dibuang, dan klaim selanjutnya bahwa kekerasan media melakukan fungsi sosial dan politik yang penting tak berbeda dengan tuduhan sihir pada era sebelumnya.  Penelitian Schlesinger (dalam Barker dan Petley, 2001) menyimpulkan masalahnya bukan apakah penggambaran kekerasan meningkatkan kekerasan serupa, tetapi perasaan dan reaksi di antara orang orang yang secara nyata atau potensial menjadi korban kekerasan. Salah satu proposisi sentral mereka, yaitu agar memahami arti ‘kekerasan’ di media, kita harus mengerti kode moral yang dibawa oleh audiens yang berbeda saat mereka menonton. Bukti lain dikutip Barker dan Petley dari Penelitian Hill. Menurut Hill, penonton film-film kekerasan memiliki ‘portofolio interpretasi’, sebuah konsep yang ia gunakan untuk menangkap cara orang memahami film kekerasan. ‘Portofolio’ ini meliputi: Kesadaran bahwa film kekerasan menguji penonton dengan berbagai cara; antisipasi dan persiapan sebagai aspek penting dari kenikmatan menonton film kekerasan; membangun hubungan dan terlibat dengan karakter layar tertentu, sementara membangun jarak yang aman dari orang lain; memainkan berbagai metode untuk menyensor kekerasan sendiri; memanfaatkan gambar kekerasan sebagai alat untuk menguji batas-batas pribadi dan sebagai cara yang aman (dalam lingkungan fiksi yang jelas) dari menafsirkan dan berpikirtentang kekerasan; secara aktif membedakan antara kekerasan dalam kehidupan nyata dan kekerasan fiksi.

 

Pertanyaan Penelitian: Bagaimana pemilih merespon disinformasi yang disebarkan melalui sosial media oleh robot politik dalam kampanye Pilkada 2020?

Leave a comment

Filed under Uncategorized

RESUME SAP 12 Teori Media, Hiperealitas dan Masyarakat Informasi

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. The University of Michigan

Castells, M. (2010). The Rise of The Network Society. Wiley-Blackwell

 

Dalam halaman pertama buku Simulacra and Simulacrum, Baudrillard (1994) mengutip Ecclesiastes untuk menjelaskan tentang simulacrum. Simulakrum tidak pernah menyembunyikan kebenaran-kebenaran yang menyembunyikan fakta bahwa tidak ada apa-apa. Simulakrum adalah kebenaran (h. 1). Baudrillard membedakan Baudrillard mengemukakan bahwa kita sekarang ini hidup di era simulasi yaitu zaman di mana keaslian dan dunia kultural cepat lenyap. Simulasi adalah penghilangan yang real dan yang imajiner, yang nyata dengan yang palsu. Yang real telah mati dan digantikan oleh simulasi. Pada era ini yang asli yang tiruan dan yang imajiner saling bercampur baur. Kesatuan berbagai realitas yang campur baur itu disebut sebagai simulacra. Dalam simulacra realitas tidak lagi menemukan referensi atau representasinya. Simulasi dewasa ini bukan lagi cermin atau konsep tetapi pembangkitan realitas melalui model real tanpa asal usul. Itulah yang disebut hiperealitas.

Pertanyaan penelitian: bagaimana hiperealitas misinformasi di media sosial yang disebarkan melalui robot politik dalam pilkada 2020

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Resume SAP 11

Butler, Judith P. (1990). Gender Trouble: Feminism and Subversion of Identity. New York: Routledge

Butler, Judith P. (2004). Undoing Gender. New York: Routledge

 

Konsep penting yang diketengahkan Butler dalam Gender Trouble adalah tentang performatifity (1990:xv). Menurut Buter sulit untuk mengatakan dengan tepat apa itu performativitas. Ia mengaku pandangannya sendiri tentang apa itu “performativitas” mungkin telah berubah dari waktu ke waktu. Menurutnya, ia  awalnya mengambil petunjuk cara membaca kinerja gender dari Jacques Derrida yang membaca Kafka “Before the Law.” Ada orang yang menunggu hukum, duduk di depan pintu hukum, mengatributkan suatu kekuatan tertentu dengan hukum yang ditunggu seseorang.  Dalam contoh pertama, kemudian, performativitas gender berputar di sekitar metalepsis ini, cara di mana antisipasi dari esensi gender menghasilkan apa yang ia posisikan sebagai di luar dirinya. Kedua, performativitas adalah bukan tindakan tunggal, tetapi pengulangan dan ritual, yang mencapai efeknya melalui naturalisasi dalam konteks tubuh, ipahami, sebagian, sebagai durasi temporal yang berkelanjutan secara budaya.

Bagi Butler gender adalah pertunjukan. Dalam pandangan heteroseksual, gender sangat menentukan tindakan manusia . Sedangkan dalam pemikiran Butler gender atau identitas seksual hadir setelah individu individu melakukan tindakan performative. Tidak ada kondisi alamiah bagi manusia kecuali penampakan tubuhnya sendiri. Inti pemikirannya adalah bahwa seks, gender maupun orientasi seksual adalah konstruksi sosial. Teori performativitas gender memperlihatkan bagaimana diskursus maupun tindakan yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat secara berulang ulang menghasilkan pengertian tentang seks dan gender baik sebagai laki laki atupun perempuan.

Dalam Undoing Gender (2004), Butler mempertimbangkan teorinya dalam hubungannya dengan persistensi dan survival, termasuk contoh-contoh diskriminasi yang terkait dengan gender, identitas gender, transgenderisme, dan transseksualitas. Dia juga membahas cara melaluinya gender beroperasi sebagai “praktik improvisasi yang berulang-ulang dalam adegan menekan. Akibatnya, individu tidak “melakukan gender” sendirian tetapi satu sama lain, bahkan orang lain yang imajiner.

Dalam buku ini, Butler meninjau kembali motivasinya untuk menulis Gender Trouble, mengutip keinginannya untuk mengekspos “heteroseksisme perpasif” (207) dalam teori feminis. Dia juga membahas dunia di mana mereka yang hidup di luar norma gender, atau bingung dengan norma norma gender, masih dapat memahami diri mereka sendiri tidak hanya sebagai menjalani kehidupan yang layak huni tetapi juga layak mendapatkan jenis pengakuan tertentu ”(207). Dia, oleh karena itu, mengungkapkan potensi emansipatoris tersirat dalam pekerjaannya. Lebih jauh, dalam buku ini, Butler mengonseptualisasikan performativitas bukan hanya tentang tindak tutur tetapi juga tindakan tubuh. Sekali lagi, pemahaman ini melibatkan pengulangan norma-norma, dalam hal ini jarak antara gender dan bagaimana hal itu terjadi di alam adalah jarak antara norma dan bagaimana itu dimasukkan. Artinya, norma hanya bisa tetap menjadi norma “sejauh itu bertindak dalam praktik sosial dan reidealisasikan dan diaktifkan kembali dalam dan melalui sosial sehari-hari ritual kehidupan tubuh. Menarik untuk esai ini, Butler menggunakan contoh kode pelecehan seksual, yang menganggap bahwa pelecehan terdiri dari subordinasi seksual perempuan di tempat kerja, dengan laki-laki sebagai pelaku pelecehan dan perempuan sebagai pihak yang dilecehkan. Dalam pandangan Butler, melalui penguatan norma gender, kode pelecehan seksual menjadi instrumen yang dengannya gender direproduksi. Dalam hal ini, Butler berpendapat bahwa pelecehan seksual, seringkali merupakan contoh subordinasi heteroseksual terhadap wanita, hanya mewakili satu cara mengatur seksualitas dan gender.

Pertanyaan Penelitian

Bagaimana performativitas akun media sosial politisi dalam kampanye pilkada 2020?

 

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Resume SAP 10

Giddens, Anthony. (1986). The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Polity Press

Blumer, Herbert. (1962). Society as Symbolic Interaction.

 

Teori strukturasi Anthony Giddens berupaya menggabungkan agen(si) dan struktur yang sebelumnya dianggap sebagai oposisi biner. Gidden melihat isu agensi-struktur dengan cara historis, procedural dan dinamis. Karena itu menurut ststrukturasi Giddens, dasar dari masyarakat bukan pengalaman aktor individu atau agensi), juga bukan keberadaan struktur, tetapi praktik praktik sosial yang tersebut. Giddens mendefinisikan struktur sebagai kumpulan aturan dan sumber yang diorganisasikan secara berulang-ulang. Sedangkan system dipahami sebagai praktik sosial yang dilakukan secara berulang ulang.

Menurut Herbert Blumer (1962), pandangan masyarakat manusia sebagai interaksi simbolik lebih banyak diikuti ketimbang dirumuskan. Pendukung pandangan ini adalah sarjana terkemuka baik di dalam sosiologi maupun diluar sosiologi. Beberapa sarjana sosiologi terkemuka antara lain Charles Horton Cooley, W.I. Thomas, Robert E. Park, E.W. Burgess, Florian Znaniecki, Ellsworth Faris, dan James Mickel Williams. Sedangkan mereka yang berada di luar disiplin sosiologi adalah William James, John Dewey, dan George Herbert Mead. Tulisan Blumer berupaya menyajikan premis dasar dari interaksionisme simbolis  mengembangkan konsekuensi metodologisnya untuk studi kehidupan kelompok manusia (h.91).

Istilah “interaksi simbolik” merujuk keunikan dan karakter khas interaksi antar manusia. Keunikannya terdiri dari fakta bahwa manusia bertindak dengan cara menafsirkan tindakan satu sama lain. Alih alih memfokuskan diri pada karakteristik individu dan ciri ciri kepribadiannya, atau bagamana struktur sosial membentukatau menyebabkan perilaku individu tertentu, interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Interaksionisme simbolik menganggap interaksi sebagai variable penting dalam menentukan perilaku atau tindakan manusia, bukan struktur masyarakat.  Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yaitu ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Menurut interaksionisme simbolik kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan symbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan symbol symbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas symbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Interaksionisme simbolik berpandangan bahwa perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia sekeliling mereka, jadi tidak dipelajari seperti di behavioristic atau ditentukan seperti dalam strukturalisme. Interaksionisme simbolik didasarkan pada premis, pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Respon ini bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek tetapi dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial (Mulyana, 2013, h 71-72).

Pertanyaan penelitian: Bagaimana para politisi memaknai misinformasi melalui robot politik di media sosial dalam pilkada?

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Resume Pertemuan 9

  1. Hall, Stuart., Ed. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practice. London: Sage
  2. Morley, David (1980). The Nationwide Audience: Structuring and Decoding. Dalam Morley, David., dan Brundson, Charlotte. (1999). The Nationwide Television Studies. London: Routledge.
  3. Hebdige, Dick. (1979). Subculture: The Meaning of Style. Routledge

 

 

Tulisan Hall (1997) ‘The work of Representation’ membahas secara mendalam argument teoritis tentang makna, bahasa dan representasi. Menurut Hall, representasi merupakan salah satu praktik utama dalam proses produksi budaya dan momen kunci dari apa yang disebut sebagai sirkuit budaya (h.1). Tetapi apa keterkaitan antara representasi dengan budaya? Bagi Hall konsep representasi telah menempati tempat penting dalam studi budaya.  Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna tentang, atau untuk mewakili, dunia secara bermakna, kepada orang lain. Representasi adalah bagian penting dari proses di mana makna dihasilkan dan dipertukarkan antara anggota suatu budaya. Itu memang melibatkan penggunaan bahasa, tanda dan gambar yang mewakili (h. 15).

Hall (h. 15-19) menyebut 3 teori tentang bagaimana bahasa digunakan untuk mewakili dunia, yaitu teori replektid, intensional, dan konstruksionis. Dalam pendekatan reflektif, makna dianggap terletak pada objek, orang, ide atau peristiwa dalam dunia nyata, dan fungsi bahasa seperti cermin, untuk mencerminkan makna sebenarnya seperti yang sudah adaada di dunia. Seperti yang dikatakan penyair Gertrude Stein, ‘Mawar adalah mawar, adalah mawar’. Pendekatan kedua untuk makna dalam representasi berpendapat sebaliknya. Menurutnya, pembicara, penulis, memaksakan maknanya yang unik pada dunia melalui bahasa. Kata-kata berarti apa yang penulis maksudkan. Ini adalah pendekatan yang disengaja. Kita semua, sebagai individu, memang menggunakan bahasa untuk menyampaikan atau mengomunikasikan hal-hal yang khusus atau unik bagi kita, dengan cara kita memandang dunia. Pendekatan ketiga adalah konstruktivis yang mengatakan bahwa sesuatu tidak berarti: kita membangun makna, menggunakan sistem representasional – konsep dan tanda. Konstruktivis tidak menyangkal keberadaan dunia material. Namun, bukan materialnya dunia yang menyampaikan makna: itu adalah sistem bahasa atau sistem apa pun yang kita gunakan untuk mewakili konsep kita. Aktor-aktor sosial yang menggunakan sistem konseptual budaya mereka dan linguistik dan sistem representasional lainnya untuk membangun makna, untuk membuat dunia bermakna dan untuk berkomunikasi tentang dunia itu secara bermakna kepada orang lain.

Di perspektif konstruksionis, representasi melibatkan pembuatan makna dengan menjalin hubungan antara tiga hal yang berbeda: apa yang secara luas kita sebut dunia benda, manusia, peristiwa dan pengalaman; dunia konseptual – konsep mental yang kita bawa di dalam kepala kita; dan tanda-tanda, disusun dalam bahasa, yang ‘diperjuangkan’ atau mengomunikasikan konsep-konsep ini. Menurut Hall (62) ada dua versi konstruksionisme – yang berkonsentrasi pada bagaimana bahasa dan makna (penggunaan tanda-tanda dalam bahasa) bekerja untuk menghasilkan makna, yang setelah Saussure dan Barthes kami sebut semiotika; dan itu, mengikuti Foucault, yang berkonsentrasi pada bagaimana wacana dan praktik diskursif menghasilkan pengetahuan. Dalam semiotika, Anda akan mengingat signifier / signified, langue / parole dan ‘Mitos’, dan bagaimana penandaan perbedaan dan pertentangan.

Buku David Morley (1980) merupakan karya yang paling berpengaruh dalam lahir dan berkembangnya penelitian khalayak. Dalam karyanya Morley menawarkan paradigm baru dalam riset khalayak yaitu paradigm interpretatif yang berbeda dengan paradigma tradisional. Pemikiran Morley dipengaruhi konsep encoding dan decoding dari Stuart Hall. Ia menerapkan konsep tersebut untuk penelitian penonton televisi.

Melalui studinya tenting subkultur, Hebdige menyimpulkan bahwa studi tentang gaya subkultur yang tampak pada awal untuk menarik kita kembali ke dunia nyata, untuk menyatukan kita kembali dengan ‘orang-orang’, berakhir hanya dengan mengkonfirmasi jarak antara pembaca dan ‘teks’, antara kehidupan sehari-hari dan’mitologi’ yang mengelilinginya, mempesona dan akhirnya mengasingkannya.

 

Pertanyaan Penelitian

“Bagaimana penyebaran disinformasi menggunakan robot politik di media sosial dalam kampanye pilkada dimaknai oleh khalayak?” Studi resepsi kelompok sosial keagamaan

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Rangkuman Pertanyaan Penelitian

 

No SAP Pokok Pikiran Pertanyaan Penelitian

 

2 Teori Media dan Praktik

 

 

 

Sumber Bacaan:

 

Couldry, N. (2004). Theorizing Media as Practice. Social Semiotics. 14(2) 115-132

 

Pink et al. (2016). Digital Ethnography Principle and Practice

 

 

 

 

 

 

Couldry (2004: 117) mengusulkan paradigma baru dalam studi media yang disebutknya sebagai praktik. Ini berbeda dengan pendekatan media studies yang konvensional, Couldry menyebutnya sebagai paradigma penelitian yang “melihat media bukan sebagai teks atau produksi ekonomi, tetapi pertama tama dan terutama sebagai praktik” (Couldry, 2004, 2010). Pendekatan ini memperlakukan  media sebagai seperangkat praktik yang berkaitan dengan, atau berorientasi pada media. Tujuannya untuk melakukan penelitian media yang tidak berfokus pada studi teks-teks media ataupun struktur produksi (meskipun ini penting) dan untuk mengarahkannya kembali studi tentang rangkaian praktik terbuka yang berfokus langsung atau tidak langsung pada media.

Menurut Couldry (2004: 121) dalam penelitian teori praktik dapat diterjemahkan dalam dua pertanyaa, yaitu apa yang orang lakukan dalam media dan apa yang orang katakan dengan media

 

Menurut Pink, dkk, (2016: 42) studi tentang praktik muncul melalui perhatian pada bagaimana tindakan dan habit manusia dibentuk dan dipelihara sepanjang waktu dan dengan cara itu berpengaruh terhadap dunia. Pandangan ini berpengaruh terhadap studi media dan melahirkan apa yang disebut sebagai praktik media.

 

Peneliti kajian media mengkaji terutama penggunaan media dan bagaimana khalayak media disengage dengan media dalam kehidupan sehari-hari  (Pink, Sarah, dkk, 2016: 43).

 

 

 

 

 

 

Bagaimana para aktor  politik menggunakan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial dalam kampanye pilkada serentak 2020? Studi Analisis jaringan sosial

 

 

 

3 Teori Media, Praktik, dan Sistem Sosial

 

Bourdieu P (1977) Outline of Theory of Practice

 

Certeau, Michel de. (1984). The Practice of Everyday Lie

 

 

 

 

Certeu (1994: xix) menjelaskan srategi sebagai hubungan-kekuatan yang menjadi mungkin ketika kemauan subjek

dan kekuasaan (pemilik, perusahaan, kota, lembaga ilmiah) dapat diisolasi

dari “lingkungan”. Strategi mengasumsikan tempat yang dapat dibatasi sebagaimana mestinya (Propre) dan dengan demikian berfungsi sebagai dasar untuk menghasilkan hubungan dengan eksterior yang berbeda dari itu (pesaing, musuh, “klien,” “target,” atau “objek” penelitian). Politik, rasionalitas ekonomi, dan ilmiah telah dibangun di atas model strategi ini.

Strategi yang dimaksud Bourdieu di sini terkait dengan banyak hal, misalnya soal suksesi kepemimpinan, pendidikan, investasi sosial atau ekonomi, perkawinan dan lain-lain. Strategi dipergunakan ketika terjadi perbedaan (gap) antara praktek dan situasi yang dihadapi. Dalam setiap kasus, perbedaan yang ada memungkinkan kita untuk mengambil tindakan atau langkah yang berbeda-beda yang dikaitkan dengan logika praktis kita

 

 

 

Bagaimana strategi penempatan kapital (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) para aktor dalam pemenangan (arena) pilkada 2020 melalui penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial?

 

4 Teori Media dan Teori Sosial

 

Couldry, N (2012) Media Society, World: Social Theory and Digital Media

 

Hesmondhalgh, D. &Toynbee, J. (Eds.). The Media and Social Theory.

 

 

 

 

Menurut Couldry (2012: ix) berbicara tentang hubungan media dengan masyarakat dan dunia, apakah itu eksplisit atau tidak, berarti berbicara tentang dunia sosial: jenis proses hubungan dalam ruang sosial. Couldry  menggambarkan piramida dengan empat sudut yang menggambarkan aneka pendekatan dalam melihat media: political economy of media, medium theory, media studies/textual analysis, dan socially oriented media theory (h.6)

 

 

 

 

Bagaimana kepentingan bisnis dan politik mendorong pabrikasi maraknya penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi melalui sosial media dalam kampanye pilkada serentak 2020? Studi ekonomi politik robot politik

 

5 Teori Media dan Konsumsi

 

 

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste

 

Warde, A (2014). ‘After Taste: Culture, consumption and theory of practice’

 

 

 

 

Dalam Distinction Bourdieu menunjukan bahwa salah satu cara untuk membedakan diri berdasarkan kelas adalah melalui konsumsi: makanan, budaya, dan penampilan. Ketiga struktur konsumsi di atas yaitu makanan, budaya, dan penampilan mempunyai makna dalam hubungannya dengan kekuasan. Cara memilih makan, cara mengonsumsi buku dan cara berpenampilan  menunjukan kelas sosial tertentu. Dengan demikian selera tidaklah netral.

 

 

 

 

Bagaimana para pemilih berdasarkan kelas sosial  mengkonsumsi dan memaknai penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial dalam kampanye pilkada 2020?

 

 

6 Teori Media dan Industri

 

Hesmondhalgh, D (2010). ‘Media industry studies, media production studies’, in J Curran (Ed.) Media and Society

 

Sum, N. L. &Jessop B (2013). Towards a cultural political economy: Putting culture in the place of political economy

 

 

 

Jeshop dan Ngai-Ling Sum (2013) mengatakan bahwa salah satu ciri dari cultural political  economy sebagai ilmu sosial adalah komitmen untuk mengkritik ideology dan dominasi.

 

 

Bagaimana dominasi perusahaan teknologi dan konsultan politik dalam membentuk narasi pentingnya penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial  dalam kampanye pilkada 2020?

7 Sintesa   Pertanyaan sintesa:

Bagaimana penggunaan robot politik dalam kampanye pilkada gubernur 2020 di Indonesia?

 

Rincian Pertanyaan Penelitian:

–          Siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana mereka menggunakan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial dalam kampanye pilkada 2020?

–          Bagaimana strategi penempatan kapital (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) para aktor dalam pemenangan (arena) pilkada 2020 melalui penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial?

–          Bagaimana kepentingan bisnis dan politik mendorong pabrikasi maraknya penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi melalui sosial media dalam kampanye pilkada serentak 2020? Studi ekonomi politik robot politik

–          Bagaimana para pemilih berdasarkan kelas sosial  mengkonsumsi dan memaknai penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial dalam kampanye pilkada 2020?

–          Bagaimana dominasi perusahaan teknologi dan konsultan politik (public relations)  dalam membentuk narasi pentingnya penggunaan robot politik untuk menyebarkan disinformasi di media sosial  dalam kampanye pilkada 2020?

 

 

 

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Rangkuman

 

No SAP Pokok Pikiran Pertanyaan Penelitian
2 Teori Media dan Praktik Pink et al. (2016). Digital Ethnography Principle and Practice

 

Couldry, N. (2004). Theorizing Media as Practice. Social Semiotics. 14(2) 115-132

 

Studi tentang praktik muncul melalui perhatian pada bagaimana tindakan dan habit manusia dibentuk dan dipelihara sepanjang waktu dan dengan cara itu berpengaruh terhadap dunia (Pink, Sarah, dkk, 2016: 42). Pandangan ini berpengaruh terhadap studi media dan melahirkan apa yang disebut sebagai media practice. Media Practice. Peneliti media studies mengkaji terutama penggunaan media dan bagaimana khalayak media disengage dengan, secara masuk akal, media dalam kehidupan sehari-hari  (Pink, Sarah, dkk, 2016: 43). Ini berbeda dengan pendekatan media studies yang konvensional, Couldry menyebutnya sebagai paradigma penelitian yang “melihat media bukan sebagai teks atau produksi ekonomi, tetapi pertama tama dan terutama sebagai praktik” (Couldry, 2004, 2010).

Paradigma baru yang diusulkan Couldry sangat sederhana. Ia memperlakukan media sebagai seperangkat praktik yang berkaitan dengan, atau berorientasi pada, media.1 Potensi formulasi ini hanya menjadi jelas ketika kita melihat lebih dekat pada perdebatan terbaru tentang “praktek” dalam ilmu sosial. Tujuannya untuk melakukan penelitian media yang tidak berfokus pada studi teks-teks media ataupun struktur produksi (penting meskipun ini) dan untuk mengarahkannya kembali studi tentang rangkaian praktik terbuka yang berfokus langsung atau tidak langsung pada media. Ini menempatkan studi media dengan kuat dalam sosiologi yang lebih luas dalam tindakan dan pengetahuan (atau, jika Anda suka, antropologi budaya atau kognitifantropologi), dan membedakannya dari versi studi media yang dirumuskan dalam paradigma literary criticism.

 

 

“Bagaimana detox digital menggambarkan resistensi terhadap media sosial?”

 

 

Media sosial tak pernah lepas dari kehidupan sehari hari masyarakat Indonesia. Namun kini ada sekelompok orang, termasuk para selebriti, yang dengan sengaja menghentikan aktivitas bermedia-sosial dari kehidupan sehari hari mereka. Mereka melakukan detoks media sosial atau lebih luas lagi detoks digital. Syversten dan Enli (2019) mendefinisikan digital detoks sebagai diskoneksi periodik dari media sosial atau online, atau strategi untuk mengurangi keterlibatan dalam media digital. Menurut Sylversten dan Enli (2019) detoks digital berdiri dalam tradisi panjang resistensi media dan non-use media. Tetapi menganjurkan keseimbangan dan kesadaran lebih dari diskoneksi permanen.

3 Teori Media, Praktik, dan Sistem Sosial Bourdieu P (1977) Outline of Theory of Practice

 

 

 

Certeau, Michel de. (1984). The Practice of Everyday Lie

 
4 Teori Media dan Teori Sosical Couldry, N (2012) Media Society, World: Social Theory and Digital Media

 

 

Hesmondhalgh, D. &Toynbee, J. (Eds.). The Media and Social Theory.

 
5 Teori Media dan Konsumsi Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste

 

 

Warde, A (2014). ‘After Taste: Culture, consumption and theory of practice’

 

Dalam Distinction Bourdieu menunjukan bahwa salah satu cara untuk membedakan diri berdasarkan kelas adalah melalui konsumsi: makanan, budaya, dan penampilan. Ketiga struktur konsumsi di atas yaitu makanan, budaya, dan penampilan mempunyai makna dalam hubungannya dengan kekuasan. Cara memilih makan, cara mengonsumsi buku dan cara berpenampilan  menunjukan kelas sosial tertentu. Dengan demikian selera tidaklah netral.

“Bagaimana konsumsi berita politik dan cara memperoleh berita politik menunjukan perbedaan kelas sosial masyarakat?”

 

 

6 Teori Media dan Industri Hesmondhalgh, D (2010). ‘Media industry studies, media production studies’, in J Curran (Ed.) Media and Society

 

Sum, N. L. &Jessop B (2013). Towards a cultural political economy: Putting culture in the place of political economy

 

 

“Bagaimana dominasi industri konsultan PR politik dalam membentuk follower kandidat sebagai digital political labour (DPL) dalam kampanye pilkada 2020?”
7      

 

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Buruh Politik Digital dalam Kampanye Pemilu di Sosial Media: Studi Produksi Media

Salah satu ciri dari kampanye pemilihan presiden di Indonesia saat ini adalah dominannya penggunaan sosial media sebagai media kampanye untuk menjalin hubungan dengan pemilih. Hal itu Wajar, sebab menurut Data We Are Social per Januari 2019, jumlah pengguna aktif sosial media di Indonesia telah mencapai 150 juta orang. Media sosial digunakan sebagai alat membangun hubungan karena media sosial dianggap identik dengan interaktifitas, komunikasi dialogis, komunikasi dua arah antara politisi/kandidat atau partai politik dengan khalayak atau pemilihnya.

Akan tetapi sebagaimana di katakan Fisher (2012) dalam Falasca, K., Dymek, M., & Grandien, C. (2017), media sosial bukan saja mengubah cara atau moda komunikasi, tetapi juga moda produksi. Di sini khalayak atau pemilih tidak sekedar sebagai penerima pesan politik dari kandidat atau partai politik tetapi penting juga ditempatkan sebagai buruh khalayak (audience labour). Dalam konteks politik, Falasca, K., Dymek, M., & Grandien, C. (2017) menyebutnya sebagai Digital Political Labour (DPL). Menurutnya, pengguna aktif sosial media dalam kampanye politik akan menjadi bagian dari Buruh Politik Digital (DPL) apabila ia tidak hanya menerima pesan politik, tetapi juga secara aktif berkontribusi melalui konten yang mereka produksi sendiri (user generated content).

Sayangnya, kajian tentang khalayak politik politik dari perspektif digital political labour tampaknya kurang mendapat perhatian di Indonesia. Padahal fenomena ini telah berkembang sejak pemilihan Gubernur DKI 2012 hingga pemilihan Presiden 2019. Karena itu menarik untuk mengajukan pertanyaan, bagaimana follower media sosial para kandidat pilkada 2020 menggambarkan digital political labour? Untuk menggambarkan ini dapat dibuat studi kasus Sosial media kandidat pilkada provinsi Sulawesi misalnya, Data dapat dikumpulkan dari konten yang diproduksi para pengikut sosial media kandidat yang bertarung dan kemudian dilihat mana konten yang produksinya dibayar (misalnya melalui konsultan PR) dan mana yang gratis/tidak dibayar (USG).

Menurut Hesmondhalgh (2010b), analisis tentang pekerja media merupakan area paling menjanjikan untuk dialog studi produksi media, ketimbang analisis tentang organiasi media serta kepemilikan, ukuran dan strategi media. Studi pekerja media yang dipengaruhi oleh pendekatan cultural studies membantu untuk membangkitkan studi tentang produksi media dan studi industry. media.

Studi tentang digital political labour pernah dilakukan Falasca, K., Dymek, M., & Grandien, C. (2017) dengan mengaplikasikan konsep DPL untuk memahami signifikansi dan implikasi dari praktek PR politik di sosial media. Menurutnya, eksplorasi empiris DPL menyoroti dua aspek penting dari perdenbatan ‘tenaga kerja gratis’ (free labour). Di satu sisi, ada pendekatan yang lebih doktrinal dari Fuchs (2010, 2012) dan Smythe (1977) yang akan mengkategorikan strategi online partai-partai politik sebagai tak terelakkan eksploitatif melalui alokasi iklan dua kali lipat dan UGC. Di sisi lain, pendekatan Caraway (2011, 2016) mempertanyakan tingkat eksploitasi melalui diskusi tentang pekerjaan yang tidak terpakai dan dinamika penciptaan nilai yang kompleks dalam proses komunikasi. Eksplorasi empiris studi ini dari DPL menunjukkan bahwa, perspektif eksploitasi berlebihan Fuchs / Smyth tidak tercermin dalam aktivitas audiens dan komentar dari sampel. Sementara Smythe terkenal mengabaikan subjektivitas khalayak (mis. tidak peduli apakah audiens sadar, atau tidak, tentang eksploitasi mereka), Studi ini menunjukkan bahwa ada tingkat kesadaran audiens tertentu mengenai DPL.Data empiris menunjukkan pandangan yang lebih seimbang di sepanjang pandangan Caraway, di manak halayak dengan sukarela menyatakan dukungan untuk tujuan partai mereka (dengan berkomentar, berbagi,suka, dll), dan rela menjadi target untuk iklan politik. Selanjutnya, Studi telah menunjukkan bahwa mekanisme DPL dalam proses komunikasi politik hadir dalam data empiris, tetapi tingkat eksploitasi tergantung pada kesadaran audiens dan partai politik, serta keberadaan manajemen strategis DPL ini oleh partai politik.

 

SUMBER

Caraway, B. (2011), “Audience labour in the new media environment: A Marxian revisiting of the audience

commodity”, Media, Culture & Society, 33 (5):693-708

Falasca, K., Dymek, M., & Grandien, C. (2017). Social media election campaigning: who is working for whom? A conceptual exploration of digital political labour. Contemporary Social Science, 1–13. doi:10.1080/21582041.2017.1400089

Fuchs, C. (2013). Digital prosumption labour on social media in the context of the capitalist regime of time. Time & Society, 23(1), 97–123. doi:10.1177/0961463×13502117

Hesmondhalgh, D. (2010a), “User-generated content, free labour and the cultural industries”, ephemera, 10(3/4):267-284

Hesmondhalgh, D (2010b), “Media Industry Studies and Media Production Studies”. Dalam James Curran. Media and Society, 5th Ed. London: Bloomsbury.

Leave a comment

Filed under Uncategorized