Publication

PENGHARGAAN JURNALISTIK: Membangun Cagar Alam ‘Jurnalisme Berkualitas’ di Indonesia

Hanif Suranto, Anggota Dewan Pengurus Mochtar Lubis Award

Kata Pengantar Buku “Kumpulan Karya Finalis dan Pemenang Mochtar Lubis Award 2010”, Diterbitkan Dewan Pers dan LSPP

Sisi gelap jurnalisme tampaknya tengah menjadi perhatian. Simak saja judul artikel dan buku tentangnya yang terbit belakangan ini. “The Death of Journalism”, tulis Ian Shapira dalam artikelnya di Washington Post akhir Juli 2009. Kritikus media kondang Robert W McChesney pun tak mau ketinggalan. Bukunya yang ditulis bersama John Nichols dan terbit tahun 2010 diberi judul “The Death and Life of American Journalism”.  Nada pesimis atas nasib jurnalisme juga tergambar pada buku Rachel Davis Marsey. Judul sampul buku professor pada Medill School of Journalism Northwestern University yang terbit tahun 2010 silam ini sungguh provokatif: “Can Journalism be Saved?” Di Indonesia, pada tahun 2009 Aliansi Jurnalis Independen dan Yayasan Tifa meluncurkan buku “Wajah Retak Media” yang membongkar problematika independensi dan profesionalisme media.

Krisis jurnalisme, kematian jurnalisme, erosi jurnalisme, kebangkrutan jurnalisme, dan  ungkapan lain sejenisnya tampaknya telah menjadi kata kunci untuk menggambarkan kondisi jurnalisme saat ini. Sejak krisis komunikasi publik didentifikasi oleh Blumer dan Gurevitch pada 1995, pesimisme terhadap dunia jurnalisme dan media bukannya surut, malah tampak kian menjadi-jadi. Krisis komunikasi publik yang dimaksud dua penulis di atas antara lain merujuk pada fenomena merosotnya jurnalisme (politik) yang berkualitas akibat proses komersialisasi, tabloidisasi, atau pendeknya berkuasanya infotainment melebihi reportase “serius” manapun.

Dalam konteks tersebut, seluruh standar berita dari berita yang berkualitas ditinggalkan dan diganti  dengan standar berita yang lebih banyak dirancang untuk memenuhi kebutuhan lain: informasi yang menghibur. Melalui standar ini, jurnalis bukanya mencari liputan isu-isu penting dengan tingkat kepublikan tinggi, akan tetapi malah secara rutin mencari liputan yang remeh temeh tapi sungguh-sungguh dramatis dan menghibur, berbiaya murah, dan bertujuan komersial. Di Indonesia, debat panjang yang pernah terjadi tentang apakah infotainment itu jurnalisme atau bukan, sedikit banyak menggambarkan kecenderungan pergeseran standar berita ini.

Apakah gambaran di atas cuma ilusi pengamat atau kritikus jurnalisme semata? Kenyataan tidak. Para jurnalis, setidaknya di Amerika Serikat, dengan jujur telah mengakuinya. Hasil survey yang dilakukan Pew Research Center tahun 2004 menunjukkan, lebih dari separuh (51 persen) jurnalis media nasional di Amerika percaya bahwa jurnalisme sedang berjalan ke arah yang salah. Mereka (41 persen) juga menganggap bahwa problem terbesar jurnalisme saat ini berkaitan dengan kualitas liputan, seperti akurasi liputan, sensasionalisme, ketiadaan kedalaman,  serta hilangnya liputan yang seimbang (balance).

Di Indonesia jurnalisme yang berkualitas tampaknya juga tengah menghadapi tekanan. Hasil penelitian terhadap pengaduan yang masuk Dewan Pers selama 7 tahun menunjukan tingginya angka persentase pengaduan masyarakat tentang hak jawab (41,50%) dan pengaduan karya jurnalistik (17,78%) terkait dengan pelanggaran etika menyangkut kelemahan akurasi, keberimbangan dan tidak adanya verifikasi atau konfirmasi. Bagi Dewan Pers, hal ini menandakan komunitas pers masih melalaikan prinsip dasar jurnalistik dan karena itu perlu memperbaiki diri (Dewan Pers, 2008: 102)

Pelanggaran Etika Menurut Pengadu

No.

Pelanggaran

Jumlah

%

1

Tidak Akurat

67

26,48

2

Tidak Berimbang

44

17,39

3

Tidak Verifikasi/Konfirmasi

43

16,99

4

Memfitnah

25

09,88

5

Merugikan Nama Baik

23

09,09

Sumber: Riset Dewan Pers 2008

Kalau dimensi kepentingan publik kita anggap sebagai nilai atau norma utama dalam jurnalisme, masalah juga ada di sini. Riset Litbang Kompas di penghujung tahun 2010 menunjukan adanya kesenjangan antara agenda media dan minat atau kebutuhan publik. Hasil berbandingan antara isu berita yang ditonjolkan di halaman satu enam koran nasional dan pendapat publik yang terangkum dalam jajak pendapat menunjukkan kecenderungan tersebut. Meskipun tetap mengikuti isu-isu berita tentang bencana, kriminalitas dan hukum, serta politik, pembaca memiliki minat yang sedikit berbeda. Berita terkait keseharian lebih banyak mereka butuhkan, seperti ekonomi, olahraga, pendidikan, dan kesehatan.

Perbandingan Perhatian Media Vs Publik

%

Ditonjolkan %

Peringkat

Dibutuhkan Pembaca Koran

%

31,1 Bencana dan kecelakaan

1

Ekonomi dan Bisnis 13,1
20,8 Kriminalitas, hukum, dan keadilan

2

Bencana dan kecelakaan 12,8
19,7 Politik

3

Olahraga 10,8
  9,5 Ekonomi dan bisnis

4

Politik 10,6

5

Pendidikan   9,3
Kesehatan   9,3

Sumber: Litbang Kompas

Tidak hanya kurang memberikan apa yang dibutuhkan pembacanya dari sisi topik berita, koran juga cenderung tidak sesuai ekspektasi pembaca untuk topik berita yang sama. Berita pendidikan misalnya, sebanyak 9,3 responden membutuhkannya, tapi koran hanya member 0,4 persen di halaman satunya. Demikian pula dengan kesehatan, hanya 0,3 persen berita tentang hal itu yang muncul di halaman satu koran. Apakah ini berarti media massa dan publik tengah memandang kea rah yang berbeda (Barometer, Kompas edisi 26 Desember 2010).

Kalau paparan di atas merupakan cerminan merosotnya jurnalisme, pertanyaannya adalah mengapa hal itu terjadi? Plasser (2005:55) mengidentifikasi sejumlah faktor penyebabnya. Meningkatnya partisanship media dan jurnalis merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada hilangnya jurnalisme (politik) yang berkualitas. Yang tak kalah pentingnya, seperti telah disinggung di muka,  adalah pergeseran dalam standar berita. Tren kearah infotainment dan soft news mendorong berita menjadi program hiburan. Berita lebih banyak berisi rumor, kontroversi, hal-hal yang remeh-temeh. Indikator substansial lain dari hilangnya jurnalisme yang berkualitas adalah merosotnya liputan mendalam (in-depth reporting) dan liputan investigatif (investigative reporting). Sebaliknya, liputan cenderung bergerak ke arah liputan yang dangkal (superficial reporting).

Bagi Plasser, alasan merosotnya jurnalisme yang berkualitas juga terkait dengan meningkatnya kompetisi dan komersialisasi jagat media. Tingginya tingkat kompetisi membuat produk berita diarahkan untuk menjangkau sebanyak mungkin khalayak dan kemudian pengiklan. Dengan demikian tiras dan rating menjadi tolak ukur utama dalam menentukan berita apa yang layak muat/tayang. Berkurangnya fairness dan akurasi, dan hilangnya keseriusan, dan tendensi kearah hiperkritisisme juga berkontribusi pada hilangnya kualitas jurnalisme pada media mainstream. Tingginya tingkat kompetisi malahan tak cuma menjadi pangkal merosotnya kualitas jurnalisme, tapi juga penyebab utama gulungtikarnya banyak media di sejumlah negara belakangan ini. Dengan demikian kebangkrutan jurnalisme dapat dimaknai sebagai bangkrutnya institusi-institusi jurnalisme, dan atau kemerosotan dalam norma-norma jurnalisme yang berkualitas.

Dalam situasi pesimisme terhadap jurnalisme, apakah jurnalisme dapat diselamatkan? Apakah quality journalisme berpeluang menjadi penyelamat jurnalisme dari kebangkrutan: nilai-nilai jurnalisme dan institusi-institusi jurnalisme? Lantas dimanakah peran award atau penghargaan jurnalisme dalam proses penyelamatan jurnalisme yang berkualitas?

***

Sebelum membahas pertanyaan di atas, ada baiknya kita perjelas dulu apa yang dimaksud quality journalism. Mengutip sejumlah penulis, Plasser (2005) menyimpulkan, meskipun diskusi mengenai runtuhnya quality journalism berlangsung secara intensif, namun hanya sedikit upaya telah dibuat untuk mendefinisikan quality journalism ke dalam kriteria yang dapat diukur secara empirik. Diskusi terlalu sering berhenti pada level normatif atau hanya sebatas muncul dalam jargon-jargon seperti rasional jurnalistik vs emosional jurnalistik, quality journalism vs popular journalism, high standar normative vs low standard normative, hard news vs soft news dan sebagainya.

Peneliti jurnalisme asal Jerman Weischenberg  mendefinisikan jurnalisme yang berkualitas sebagai “seperangkat sikap yang terkait dengan jurnalisme yang berkualitas, yang membentuk keputusan berita dan gaya liputan berita”. Tak hanya sikap, barangkali penting juga untuk memasukan aspek nilai (jurnalisme) sebagai aspek yang turut mengkonstruksi apa yang kita sebut sebagai jurnalisme yang berkualitas. Dalam kaitan ini, maka kita harus menyebutkan lima tipe nilai ideal yang kerap dikemukakan. Mendasarkan pendapatnya pada pandangan Golding dan Elliot, Merritt, dan Kovach-Rosenstiel, Deuze (2005) menyebut lima nilai-tipe ideal jurnalisme tersebut adalah pelayanan publik, objektivitas, otonomi, kesegeraan (immediacy), dan etik. Publik servis dimaknai sebagai komponen ideology jurnalisme yang utama. Jurnalis bersikap bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk kepentingan publik, bekerja sebagai semacam anjing penjaga yang mewakili masyarakat. Objektivitas berkaitan dengan jurnalis yang impartial, netral, fair, dan kredibel. Otonomi berarti jurnalis harus otonom, bebas, dan independen dalam bekerja. Imediacy berkaitan dengan aktulitas dan kecepatan. Sementara menurut Hoding Catter III mantan President Knigh Foundation, nilai-nilai jurnalistik yang khusus meliputi kedalaman, keragaman sumber, menegakkan etika, obyektifitas profesional, kesadaran tentang agenda setting, serta kesadaran dan kepedulian terhadap komunitas. Dengan menerapkan nilai-nilai itu produk jurnalisme diharapkan menjadi berkualitas. Atau dengan kata lain, jurnalisme yang berkualitas mencerminkan nilai-nilai tersebut.

Kalau itu yang kita sebut sebaga jurnalisme yang berkualitas dapatkah jurnalisme yang berkualitas diselamatkan dalam situasai menguatnya kompetisi dan tekanan bisnis media di satu sisi dan lunturnya nilai-nilai (profesional) jurnalisme di sisi yang lain? Bukankah kebanyakan baron media masih menggunakan prinsip bisnis lama:  mengeluarkan sedikit-dikitnya untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya? Bila pun jawabannya ya, jurnalisme dapat diselamatkan, pertanyaan yang tak kalah pentingnya untuk diajukan adalah: “Mengapa jurnalisme harus diselamatkan?” Pembela jurnalis dan jurnalisme sering mengutip sejarah dan status profesi sebagai pembenaran bahwa keduanya dibutuhkan dalam kehidupan publik dan demokrasi.

Jurnalisme yang berkualitas atau ‘Quality Journalism’, kata Turner,  memiliki peran yang sangat vital dalam demokrasi. Ini karena peran kunci yang dimainkan oleh media berita dalam membentuk opini publik dan konsensus komunitas. Mendasarkan pendapatnya pada hasil kerja Commission on Freedom of the Press, Graber menyimpulkan bahwa “kualitas demokrasi tergantung terutama pada tersedianya berita yang berkualitas oleh media (Turner,1993).

Itulah alasan penting mengapa jurnalisme harus diselamatkan. Namun bagaimana caranya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menarik untuk mempertimbangkan pemikiran Jurgensmeyer yang disebutnya sebagi model pengaruh (influence model). Bagi Jurgensmeyer, yang pernah menjadi eksekutif Knight Rider, sebuah grup media besar di Amerika Serikat, bisnis surat kabar bukanlah bisnis berita, bukan pula bisnis informasi. “Ini adalah bisnis pengaruh (influence business),” katanya seperti dikenang Philip Meyer dalam bukunya The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information Age.

Sebuah surat kabar, ujar Jurgensmeyer, menghasilkan dua jenis pengaruh: pengaruh kemasyarakatan (societal influence) dan pengaruh komersial (comercial influence). Pengaruh kemasyarakatan tidak untuk dijual, sedangkan pengaruh komersial berkaitan dengan pengaruh keputusan konsumen untuk membeli. Indahnya model ini adalah bahwa ia menyediakan pembenaran ekonomi untuk jurnalisme yang berkualitas. Menyediakan alasan ekonomi untuk menjalankan tanggung jawab sosial surat kabar.

Cara untuk meraih pengaruh sosial, lanjut Jurgensmeyer, adalah dengan mendapatkan kepercayaan publik dengan menjadi penyedia informasi yang berkualitas tinggi dan terpercaya secara terus menerus. Informasi atau jurnalisme yang berkualitas tinggi selanjutnya akan mendapatkan kepercayaan publik yang lebih besar pada surat kabar, bukan hanya pada jumlah pembaca dan sirkulasi yang besar, tapi juga pengaruh terhadap pemasukan iklan.

Dengan kata lain, pengaruh kemasyarakatan surat kabar dapat diraih dengan mempraktekan jurnalisme yang berkualitas, yang menjadi prasyarat bagi sukses financial. Konsekuensinya, dalam jangka panjang, ini akan mendukung tanggung jawab sosial media dalam sistem demokrasi dan sekaligus memenuhi tujuan bisnisnya. Argumen sebaliknya, pengurangan kualitas isi (jurnalisme) akan mengikis kepercayaan publik, melemahkan pengaruh kemasyarakatan, dan pada akhirnya mengakibatkan ketidakstabilan sirkulasi dan iklan.

Dari model pengaruh Jurgenmeyers di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa jurnalisme yang berkualitas secara logis dapat menyelamatkan kebangkrutan jurnalisme: baik kebangkrutan institusi-institusi jurnalisme maupun norma-norma jurnalisme. Lepas dari soal anekdotalnya, liputan Woodward dan Bernstein dari Washington Post tentang Watergate kerap dianggap sebagai bukti bekerjanya model pengaruh ini.

***

Di tengah krisis jurnalisme sebagaimana telah digambarkan di muka, dimanakah peran penting penghargaan di bidang jurnalisme dalam mendorong berkembangnya jurnalisme yang berkualitas? Mantan jurnalis yang kini menjadi  komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Stanley, mencoba menjawabnya. Persoalan sekarang, katanya, adalah bagaimana kita bisa mengembalikan fungsi pers dan media elektronik untuk kepentingan publik. Bagaimana media bisa berpartisipasi untuk mencari solusi berbagai masalah yang sedang mendera bangsa ini.

“Modal besar saja tak cukup, membangun setting politik di lingkaran news room juga terbukti sulit, membuat berbagai training untuk wartawan juga tak membuahkan banyak hasil. Mungkin satu-satunya upaya yang dilakukan adalah mendorong wartawan untuk berlomba menulis hal-hal yang berfokus pada publik. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan penghargaan kepada wartawan melalui karya mereka yang terbaik,” kata Stanley yang juga pernah menjadi juri Mochtar Lubis Award.

Menurutnya, saat ini kerja mulia jurnalis untuk membuat liputan terbaik bagi masyarakatnya tidak terlalu mendapat penghargaan layak. Perusahaan tempat jurnalis bekerja seringkali hanya mengukur dari tingkat kerajinan, kehadiran, kepatuhan, keberhasilan menemui narasumber, atau sekadar produktititas karya yang dihasilkan. Jarang yang memberikan penilaian terhadap karya seorang wartawan yang memiliki kontribusi bagi perbaikan masyarakat sekitar. Terutama bagi negara.

Kendati mengalami pasang surut, upaya untuk memberi penghargaan terhadap karya-karya jurnalisme yang berkualitas di Indonesia sebenarnya telah lama diupayakan. Dulu kita mengenal Penghargaan Adinegoro milik PWI dan Penghargaan MH Thamrin milik PWI Jaya, yang kini mulai diselenggarkan kembali. Ada juga Mochtar Lubis Award yang diselenggarakan oleh LSPP dan Anugrah Adiwarta Sampoerna yang diselenggarakan oleh PT. HM Sampoerna Tbk.

Belakangan berbagai penghargaan di bidang jurnalisme malah kian marak. Penyelenggaraannya mulai dari organisasi jurnalis, organisasi nirlaba, lembaga-lembaga negara, hingga perusahaan-perusahaan swasta. Motifnya pun beragam. Ada yang benar-benar untuk mengembangkan jurnalisme yang berkualitas, untuk kampanye sosial atau kampanye isu-isu publik, atau sekedar untuk membangun hubungan dekat dengan jurnalis atau media. Bahkan kini muncul kecenderungan baru dimana penghargaan jurnalisme dirancang untuk alat promosi di dunia usaha. Di sini penyelenggaran penghargaan jurnalisme cenderung digelar untuk menjaring berita positif bagi produk atau korporasi. Dengan anggaran rendah penyelenggara berharap menuai jatah pemberitaan luas.

Yang kita maksudkan sebagai penghargaan di sini tentu bukanlah model kategori terakhir tadi. Penghargaan di bidang jurnalisme yang baik tentu yang mampu mendorong kelahiran dan tumbuh kembangnya karya-karya jurnalisme yang berkualitas. Di tengah krisis jurnalisme, penghargaan di bidang jurnalisme dapat menjadi semacam wilayah konservasi bagi jurnalisme yang berkualitas. Layaknya cagar alam, ia bisa menjadi semacam ruang hidup bagi jurnalisme yang berkualitas agar terhindar dari kelangkaan bahkan kepunahan. Di sini diharapkan terjadi pula upaya konservasi nilai-nilai atau norma-norma profesional jurnalisme.

Sebagai satu di antara penghargaan-penghargaan karya jurnalisme yang ada di Indonesia, Mochtar Lubis Award juga merupakan bagian dari upaya mengembangkan jurnalisme yang berkualitas. Ada dua alasan yang dapat dikemukakan untuk itu. Pertama, sebagaimana dikemukakan pada setiap malam penghargaan, Dewan Juri Mochtar Lubis Award selalu menggunakan kriteria nilai-nilai jurnalisme yang berkualitas dalam menentukan pemenang setiap kategori penghargaan seperti, tingkat kemanfaatan dan kepentingan publik, kelengkapan dan kedalaman, keragaman sumber berita, akurasi, kualitas penyajian/penulisan dan lainnya. Kedua, sebagaimana dapat kita baca pada buku ini, karya-karya yang menjadi finalis juga menunjukan tingkat kepentingan publik yang tinggi. Hal itu khususnya tampak pada kategori laporan investigasi, kategori pelayanan publik, dan kategori liputan mendalam bagi wartawan televisi. Dalam kategori-kategori tersebut, isu korupsi, kesehatan, lingkungan, transportasi cukup dominan.

Kalau Mochtar Lubis Award dapat dianggap sebagai salah satu indikator perkembangan jurnalisme, salah satu yang patut dicatat barangkali soal jurnalisme investigasi. Pada penghargaan Mochtar Lubis tahun 2010, ada 250 karya yang masuk panitia. Rinciannya adalah 83 untuk kategori foto jurnalistk, 74 karya untuk kategori feature, 38 karya untuk kategori pelayanan publik, 27 karya untuk kategori laporan investigasi, 21 karya untuk kategori liputan mendalam wartawan televisi, serta 7 proposal untuk kategori fellowship. Kendati dari segi jumlah karya investigasi tampak lebih banyak ketimbang liputan mendalam televisi, namun setelah diperiksa dewan juri jumlah karya investigasi ternyata paling kecil. Sebab, dari 27 karya yang dikirim peserta ke kategori laporan investigasi, hanya 15 karya yang benar-benar merupakan laporan investigasi. Dewan juri tak dapat menilai 12 karya lainnya karena dianggap bukan merupakan laporan investigasi. Karya-karya tersebut lebih merupakan laporan mendalam (in-depth reporting), bahkan laporan biasa. Ini menunjukan bahwa laporan investigasi belum sepenuhnya dimengerti oleh banyak jurnalis di Indonesia.

***

Buku Mochtar Lubis Award 2010 merupakan dokumentasi karya finalis Mochtar Lubis Award tahun 2010. Selain menampilkan karya-karya tersebut agar dapat dibaca oleh khalayak umum, buku ini juga menampilkan apa yang ada dibalik karya-karya tersebut, termasuk proses kreatif bagaimana karya-karya itu tercipta. Ditampilkan juga pertimbangan-pertimbangan dari dewan juri mengapa karya-karya tertentu menjadi pemenangnya. Dengan cara ini, buku ini diharapkan tak cuma menjadi bacaan yang menarik, tapi juga bisa menjadi sumber belajar dan inspirasi bagi para jurnalis lainnya dan mahasiswa jurnalistik bagaimana menghasilkan karya  jurnalistik yang berkualitas. Dari sini kita harapkan jurnalisme yang berkualitas akan terus berkembang tak hanya di ajang-ajang penghargaan jurnalisme, tapi masuk ke ruang-ruang berita hingga menjadi norma jurnalisme para jurnalis kita. Dengan demikian gambaran muram tentang krisis dan kematian jurnalisme sedikit demi sedikit dapat dihapus. Dengan demikian jurnalisme dapat diselamatkan. Dengan demikian tanggungjawab sosial jurnalisme dapat dijunjung. Kalau itu terjadi demokrasi dapat ditegakan dan Indonesia terselamatkan. Selamat membaca.***

Daftar Sumber

Budiarti, Rita Triana. 2009. “Dilema Kompetisi Jurnalistik: Antara Berita dan Pariwara” dalam Wajah Retak Media. Jakarta: AJI dan Tifa.

Deuze, Mark. 2005. “What is Journalism? Professional identity and ideology of journalists reconsidered” dalam Journalism, Vol. 6(4): 442–464.

Few Research for the People & the Press, 2006, How Journalists See Journalists in 2004,

Washington: Project for Excellence in Journalism and the Committee of Concerned

Journalists.

Litbang Kompas, 2010, “Media Massa Vs Publik”, dimuat pada rubrik Barometer Harian Kompas edisi Minggu, 26 Desember 2010.

Luwarso, Lukas, dkk, 2008, Mengelola Kebebasan Pers, Jakarta: Dewan Pers.

McNair, Brian, 2000, Journalism and Democracy: An Evaluation of Public Sphere, Routledge: London.

McNair, Brian, 2009, “Journalism and Democracy” dalam Karin Wahl-Jorgensen dan Thomas Hanitzsch (Eds.), The Handbook of Journalism Studies, London: Routledge.

Meyer, Phillip. 2009. The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information Age. Columbia: University of Missouri Press.

Mersey, Rachel Davis. 2010. Can Journalism Be Saved? Rediscovering America’s Apetite for News. Santa Barbara: Praeger.

Plasser, Fritz, 2005, “From Hard to Soft News Standar?: How Political Journalists in Different Media Systems Evaluation the Shifting Quality News” dalam The Harvard International Journal of Press/Politics, 2005 10:47.

Prasetyo, Stanley Adi, 2010, “Wartawan dan Penghargaan”, Artikel opini dimuat pada Harian Media Indonesia.

Thussu, Daya Khisan, 2007, News as Entertainment: The Rise of Global Infotainment, London: Sage Publication.

Turner, Geof, 1993, “Quality Journalism’s Vital Role in Australian Communication: A Case for Intervention”, dalam The Electronic Journal of Communication,Vol. 3, No. 3-4, 1993.

Leave a comment