Buruh Politik Digital dalam Kampanye Pemilu di Sosial Media: Studi Produksi Media

Salah satu ciri dari kampanye pemilihan presiden di Indonesia saat ini adalah dominannya penggunaan sosial media sebagai media kampanye untuk menjalin hubungan dengan pemilih. Hal itu Wajar, sebab menurut Data We Are Social per Januari 2019, jumlah pengguna aktif sosial media di Indonesia telah mencapai 150 juta orang. Media sosial digunakan sebagai alat membangun hubungan karena media sosial dianggap identik dengan interaktifitas, komunikasi dialogis, komunikasi dua arah antara politisi/kandidat atau partai politik dengan khalayak atau pemilihnya.

Akan tetapi sebagaimana di katakan Fisher (2012) dalam Falasca, K., Dymek, M., & Grandien, C. (2017), media sosial bukan saja mengubah cara atau moda komunikasi, tetapi juga moda produksi. Di sini khalayak atau pemilih tidak sekedar sebagai penerima pesan politik dari kandidat atau partai politik tetapi penting juga ditempatkan sebagai buruh khalayak (audience labour). Dalam konteks politik, Falasca, K., Dymek, M., & Grandien, C. (2017) menyebutnya sebagai Digital Political Labour (DPL). Menurutnya, pengguna aktif sosial media dalam kampanye politik akan menjadi bagian dari Buruh Politik Digital (DPL) apabila ia tidak hanya menerima pesan politik, tetapi juga secara aktif berkontribusi melalui konten yang mereka produksi sendiri (user generated content).

Sayangnya, kajian tentang khalayak politik politik dari perspektif digital political labour tampaknya kurang mendapat perhatian di Indonesia. Padahal fenomena ini telah berkembang sejak pemilihan Gubernur DKI 2012 hingga pemilihan Presiden 2019. Karena itu menarik untuk mengajukan pertanyaan, bagaimana follower media sosial para kandidat pilkada 2020 menggambarkan digital political labour? Untuk menggambarkan ini dapat dibuat studi kasus Sosial media kandidat pilkada provinsi Sulawesi misalnya, Data dapat dikumpulkan dari konten yang diproduksi para pengikut sosial media kandidat yang bertarung dan kemudian dilihat mana konten yang produksinya dibayar (misalnya melalui konsultan PR) dan mana yang gratis/tidak dibayar (USG).

Menurut Hesmondhalgh (2010b), analisis tentang pekerja media merupakan area paling menjanjikan untuk dialog studi produksi media, ketimbang analisis tentang organiasi media serta kepemilikan, ukuran dan strategi media. Studi pekerja media yang dipengaruhi oleh pendekatan cultural studies membantu untuk membangkitkan studi tentang produksi media dan studi industry. media.

Studi tentang digital political labour pernah dilakukan Falasca, K., Dymek, M., & Grandien, C. (2017) dengan mengaplikasikan konsep DPL untuk memahami signifikansi dan implikasi dari praktek PR politik di sosial media. Menurutnya, eksplorasi empiris DPL menyoroti dua aspek penting dari perdenbatan ‘tenaga kerja gratis’ (free labour). Di satu sisi, ada pendekatan yang lebih doktrinal dari Fuchs (2010, 2012) dan Smythe (1977) yang akan mengkategorikan strategi online partai-partai politik sebagai tak terelakkan eksploitatif melalui alokasi iklan dua kali lipat dan UGC. Di sisi lain, pendekatan Caraway (2011, 2016) mempertanyakan tingkat eksploitasi melalui diskusi tentang pekerjaan yang tidak terpakai dan dinamika penciptaan nilai yang kompleks dalam proses komunikasi. Eksplorasi empiris studi ini dari DPL menunjukkan bahwa, perspektif eksploitasi berlebihan Fuchs / Smyth tidak tercermin dalam aktivitas audiens dan komentar dari sampel. Sementara Smythe terkenal mengabaikan subjektivitas khalayak (mis. tidak peduli apakah audiens sadar, atau tidak, tentang eksploitasi mereka), Studi ini menunjukkan bahwa ada tingkat kesadaran audiens tertentu mengenai DPL.Data empiris menunjukkan pandangan yang lebih seimbang di sepanjang pandangan Caraway, di manak halayak dengan sukarela menyatakan dukungan untuk tujuan partai mereka (dengan berkomentar, berbagi,suka, dll), dan rela menjadi target untuk iklan politik. Selanjutnya, Studi telah menunjukkan bahwa mekanisme DPL dalam proses komunikasi politik hadir dalam data empiris, tetapi tingkat eksploitasi tergantung pada kesadaran audiens dan partai politik, serta keberadaan manajemen strategis DPL ini oleh partai politik.

 

SUMBER

Caraway, B. (2011), “Audience labour in the new media environment: A Marxian revisiting of the audience

commodity”, Media, Culture & Society, 33 (5):693-708

Falasca, K., Dymek, M., & Grandien, C. (2017). Social media election campaigning: who is working for whom? A conceptual exploration of digital political labour. Contemporary Social Science, 1–13. doi:10.1080/21582041.2017.1400089

Fuchs, C. (2013). Digital prosumption labour on social media in the context of the capitalist regime of time. Time & Society, 23(1), 97–123. doi:10.1177/0961463×13502117

Hesmondhalgh, D. (2010a), “User-generated content, free labour and the cultural industries”, ephemera, 10(3/4):267-284

Hesmondhalgh, D (2010b), “Media Industry Studies and Media Production Studies”. Dalam James Curran. Media and Society, 5th Ed. London: Bloomsbury.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Leave a comment